Senin, 31 Maret 2014

Peach (The First FanFiction)



PEACH
Nama               : Puteri ATF a.k.a Ree
Judul Cerita     : Peach
Tag (tokoh)     : Byun Baekhyun EXO
                          Juniel
Genre             : Romance
Rating             : Teen
Length             : One-Shot
Catatan Author (bila perlu):
Ini FF pertamaku yang dipost. Mohon saran dan Kritiknya Yak! :D
Happy Reading! Awas Typo! Don’t be silent readers! Just comment for your opinion!
Don’t copy paste please :’) Tinggalkan jejak kalian :3

Happy Reading! ^.^

            “Suster, aku akan segera pulih, kan?” Tanyanya dengan mata berbinar menatap wanita berpakaian putih bersih di sampingnya. Wanita itu lalu menyeringai mengangguk yakin.
            “Tentu saja Baekhyun ssi, kau akan segera menghirup udara segar yang bebas dari bau obat-obatan. Itu pun jika kau selalu menuruti nasihat dokter.” Ia menjelaskan dengan panjang lebar menatap Baekhyun dengan lembut.
            “Baiklah! Oh iya, apa aku boleh meminta sesuatu?” Ia bertanya lagi, membuat sang perawat mengangguk-angguk mengiyakan pertanyaannya.
***
            Baekhyun melangkah di caféteria rumah sakit dengan senyumnya yang merekah. Ia telah mengganti pakaian rumah sakitnya yang sangat menyebalkan baginya. Kini ia mengenakan pakaian kesayangannya, jeans dan kemeja merah pemberian sahabatnya. Ia tengah berjalan menuju penjual jus. Hingga beberapa detik kemudian ia dengan tak sengaja menabrak seorang gadis hingga jus berwarna hijau muda di tangan gadis itu bercecerah di lantai.
            “Ah, gwaenchana?” Tanya Baekhyun sambil menatap gadis berambut cokelat kemerahan di hadapannya. “Ah, n, ne.” Ucapnya mengangkat wajahnya yang berpipi cabi.
            ‘Juniel,’ desahnya dalam hati masih menatap gadis bermata bening di hadapannya. “Mianhae, a, aku akan menggantikkan jusmu.” Ia segera menarik lengan pakaian Juniel.
“Ah, ani. Gwaenchanaya.” Sahutnya sambil tersenyum pucat.
“Yaa, aku harus menggantikannya. Itu tidak baik.” Sahut Baekhyun meyakinkan kembali menarik Juniel.
“Aha gomawo,” ucapnya malu-,alu mengikuti langkah Baekhyun menuju salah satu meja saat petugas kebersihan menghampiri ceceran jus milik Juniel.
Kini mereka saling berhadapan dengan dua gelas jus di hadapan mereka. Baekhyun menundukan wajahnya sambil menggigit bawah bibirnya menyesalkan kekeluan lidahnya yang terasa begitu kaku.
            Gomapta,” Juniel memecahkan keheningan antara mereka berdua. “Ah, iya.” Baekhyun menjawabnya dengan singkat ditemani seringai hangat sambil meremas jeans dengan kedua tangannya di bawah meja.
            “Namamu siapa? Aku Juniel.” Juniel menyodorkan lengannya ditemani sunggingan hangatnya. ‘Dia tak tahu aku?’ Sesal Baekhyun dalam hatinya mencari alasan mengapa Juniel tak mengetahui keberadaannya yang hanya terpisah dua ruangan darinya.
            “Namaku Park Jung Hwa,” ucapnya menerima sodoran lengan Juniel. Mereka lalu menyeringai sambil merenggangkan genggaman masing-masing. Baekhyun merasakan detakkan jantungnya tak beraturan, membuat tangannya bergetar sedari tadi saat ia duduk bersama Juniel. Ia pun merasakan bulu romanya yang meremang saat ia menatap Juniel yang kini berada di hadapannya.
Juniel lalu menatapnya. “Aku ingin sepertimu. Sehat, bebas, ceria, dan tak terbatas dalam satu ruang lingkub yang menjenuhkan.” Ucap Juniel setelah ia menyeruput jusnya. Membuat Baekhyun merasa tersentak tak dapat mengatakan apapun  secepat yang ia bisa. Ia terdiam beberapa detik sambil bergeming. Dalam benaknya ia mulai memperhitungkan segala hal yang akan terjadi, ‘sesuai dugaanku. Ini bagus untuk permulaan.’
            “Kau ingin sepertiku?” Baekhyun menyeringai nakal. Lalu Juniel menganggukkan kepalanya mantap.
            “Itu artinya kau harus mengikuti segala nasihat dokter. Jangan melawan dan tak mengikuti aturan dokter yang akan membantumu.” Dengan panjang lebar dan tatapan yang melukiskan kepeduliannya ia menjelaskan sambil menatap lekat Juniel.
            “Itu, aku tak suka. Dokter selalu mengatur, jadi aku tak menyukai hal itu. Dan aku tak suka obat, rasanya pahit!” Juniel lalu mengerucutkan bibirnya, membuat Baekhyun menyeringai lembut menatapnya.
“Pahit di awal yang akan membuatmu dapat dengan bebas menciptakan kenangan manis di waktu yang akan datang.” Baekhyun menyunggingkan senyuman manisnya dengan penuh keyakinan membuta Juniel tak mampu menyangkal kata-kata Baekhyun.
            “Kalau begitu, baiklah! Mulai sekarang aku akan mengikuti saranmu agar aku segera keluar dari tempat yang menjenuhkan ini. Jenguk aku ya, di kamar 304.” Ia mengedipkan salah satu matanya lalu mengangkat tubuhnya dari atas kursi. Lalu ia melambaikan lengan pucat lemahnya saat seorang perawat merangkul punggungnya. Menggiring tubuh lemah itu ke atas kursi roda.
            ‘Suster, aku berhasil melunakkan hatinya yang terkenal di kalangan dokter dan perawat sebagai gadis keras kepala yang selalu tak mau mengikuti anjuran dokter. Aku berjanji akan membuatnya sembuh bersamaan denganku. Walaupun aku harus menyembunyikan diriku yang sebenarnya.’ Ucapnya dalam hati dengan keseriusan masih menatap Juniel yang semakin jauh dari pandangan matanya.
***
Baekhyun menggenggam erat dorongan berlapis karet pucat di kursi roda yang ia dorong. Sinar matahari pagi yang menerobos dedaunan pohon di sepanjang jalan membuatnya sedikit menyipitkan matanya menahan sinar matahari yang menerpa wajahnya. Rambut coklatnya yang berkilauan diterpa sinar matahari pagi melambai lembut tertiup angin pagi yang terasa menyegarkan.
            “Wah, ini sangat menyenangkan ya.” Gumam gadis di atas kursi roda yang Bekhyun dorong terdengar riang.
            Baekhyun memutar matanya sekejap memandang berkeliling. “Tentu saja. Memangnya kau tak pernah melakukan tour kecil-kecilan seperti ini?”
            Lalu Juniel memutar kepalanya memandang tubuh  di belakangnya. “Ani, aku pikir akan melelahkan.” Lalu Baekhyun tertawa geli.
            “Melelahkan? Tentu saja tidak. Kau kan hanya duduk. Dan seseorang akan mendorongkan kursi roda ini untukmu.” Balas Baekhyun masih diakhiri tawa gelinya.
            Juniel lalu mencibir kecil. “Tetap saja jika pemandangannya tidak indah akan melelahkan, kan?”
            Ne, ne.” Baekhyun mengangguk sambil menyeringai.
            Langit yang ditebari gumpalan kapas tipis berair semakin terlihat cerah karena matahari membawa aura menyenangkan dari cahaya hangatnya. Juniel dan Baekhyun tengah merebahkan kakinya di atas rerumputan hijau segar. Mereka ditemani kawanan pohon rindang di taman yang mereka pijaki.
            Bubur yang suster titipkan kepada Baekhyun untuk Juniel telah habis dilahap Juniel walau memakan waktu yang lama. Bakhyun pun harus sabar saat ia harus mengangkat sendok berisi bubur yang sering kali ditolak Juniel.
Baekhyun menutup matanya sambil menghirup udara dalam-dalam. Membuatnya merasakan kesegaran yang menghampiri tubuhnya. Merangkaikan sunggingan lembut di bibir tipisnya.
            “Apa yang kau lakukan?” Juniel menoleh ke arahnya.
            “Hmmm.. aku tak tahu apa namanya. Namun sangat menenangkan.” Baekhyun masih menutup kelopak matanya. Lalu Juniel memutar matanya. “Aku ingin mencobanya.”
            “Baiklah,” Baekhyun membuka kelopak matanya lalu menatap gadis di sampingnya.
            “Pertama kau harus rileks, ya. Lemaskan punggungmu. Lalu mulailah tutup matamu,” Baekhyun menatap Juniel lekat saat Juniel mulai menutup matanya.
            “Lalu?” Juniel bertanya.
            “Lalu, hirup udara dalam-dalam. Setelah itu bayangkanlah apa yang sangat ingin kau lakukan sekarang. Bayangkanlah dengan perasaan yang dalam.” Baekhyun melanjutkan kata-katanya.
            “Hmm..” Juniel bergumam kecil masih menutup matanya.
            Baekhyun menyeringai menatap Juniel. Lalu mengalihkan tatapannya. Namun saat ia menolehkan kepalanya, matanya menangkap dua bayangan yang familiar di hari-harinya. Kedua tubuh itu tengah memasuki pintu rumah sakit.
            Mata Baekhyun membulat dengan mulut yang sedikit demi sedikit menganga. “Eomma, appa.” Bisiknya pelan dengan nada tingginya. “Ottokhae?” Bisiknya lagi. Ia segera menoleh menatap Juniel yang tengah menyeringai lembut.’Juniel mianhae karena mengganggu kesenanganmu.’
            “Juniel, ayo kita pulang.” Gumam Baekhyun segera meraih botol air mineral dan tempat makan berwarna merah muda yang kosong. Ajakan Baekhyun sontak membuat Juniel membuka matanya.
            Mwo? Waeyo?” Juniel mengerutkan keningnya.
            Ani, kajja.” Baekhyun yang baru saja mengangkat tubuhnya segera menyodorkan lengannya. Juniel menarik lengan pucat Baekhyun lalu mengangkat tubuhnya.
***
            Tanpa banyak pikir Baekhyun memasukkan pakaian yang baru saja ia gunakan ke dalam tempat sampah abu-abu di toilet. Ia segera menarik pintu toilet dan menyelinap secepat yang ia dapat lakukan.
            Pikirannya kacau. Bagaimana jika orang tuanya kuatir? Bagaimana jika Juniel mengetahui kebohongannya, sehingga ia tak mampu menolong Juniel untuk segera pulih? Banyak yang ia khawatirkan karena tingkahnya. Namun ia sama sekali tak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Tak mengkhawatirkan keadaan dirinya yang cukup parah. Tak memperhatikan bagaimana pucatnya kulit putihnya. Tak menghiraukan bagaiman detak jantung yang melemah dan napasnya yang sering kali tersengal-sengal akhir-akhir ini.
            Dengan bergetar ia melalui pintu bernomor 304 tanpa meliriknya sedikitpun. Lalu melangkah melewati dua pintu dari nomor 304. Kini ia mematung di hadapan pintu putih bernomor 307. Dengan bergetar ia memutar kenop pintu. Lalu dengan keraguannya ia mendorong pintu di hadapannya. Ia mengintip kecil. Namun dengan keputus asaannya ia melangkahkan kakinya.
            Omo! Baekhyun! Gwaenchana?” Seorang wanita berpakaian merah terang menghampirinya saat ia menutup  pintu.
            “Seperti yang Ibu lihat, aku sangat baik-baik saja.” Baekhyun  menyeringai.
            “Syukurlah. Ayo cepat duduk.” Wanita itu merangkulnya lembut menuju sofa.
            “Istriku, kau terlalu mengkhawatirkannya. Sudah aku bilang, anak kita akan baik-baik saja. Putra kita adalah pemuda kuat.”
            Ne, ne! Hajiman, tubuh putra kita rentan. Aku sangat kuatir saat suster bilang anak kita berjalan-jalan seorang diri di taman. Walaupun itu kemauannya sendiri tetap saja kita dan dirinya sendiri tak dapat memastikan keadaannya akan baik-baik saja selama ia sendiri.” Dengan nada sedikit terpukul wanita itu menatap tajam pria yang tengah duduk di samping Baekhyun. Ia segera meraih tas putih yang tergeletak di samping meja.
            Appa benar, Eomma. Putramu ini pemuda yang kuat.  Jadi Eomma jangan terlalu kuatir.” Baekhyun menyeringai lembut. Ia sedikit bernapas lega karena rencananya berjalan cukup mulus. Ia lalu menatap perawatnya yang sedari tadi berdiri sambil menyeringai ramah di samping pintu ruangan.
            Gomawo.” Baekhyun berbisik nyaris tak terdengar sambil mengedipkan salah satu matanya. Perawat itu mengangguk membalas sunggingan hangat milik Baekhyun.
***
“Juniel, ayo makan ini. Lihat ini enak sekali!” Baekhyun mengangkat satu sendok penuh berisi bubur yang ditemani potongah daging sapi dan jamur. Namun Juniel hanya menggeleng sambil mengembungkan pipinya.
            “Ayolah, kau baru makan setengahnya!” Baekhyun merengek menatap manja ke arah Juniel yang masih mengerucutkan bibirnya. Namun Juniel hanya terdiam.
            “Hm, baiklah. Kau ingin kau sembuh dengan segerakan? Dan bermain denganku? Maka makanlah.” Baekhyun melembutkan suaranya sambil menatap Juniel.
            “Kau punya mimpi tapi tak mampu untuk menggapainya. Untuk berusaha saja kau tak bisa.” Baekhyun sedikit mengeraskan suaranya. “Kau ingin segera keluar, tapi tingkahmu menunjukkan kau ingin berlama-lama di sini.”
            Lalu Juniel menatap malas bubur di hadapannya. Sambil mengerling lemah ke arah Baekhyun ia melahap bubur yang berada di sendok yang Baekhyun pegang.
            “Itu lebih baik. Kau mau makan sendiri?” Baekhyun menyeringai dengan lembut. Lalu Juniel mengangguk meraih sendok dan mangkuk di tangan Baekhyun. Baekhyun menyeringai lalu meraih jus kiwi. “Kau suka?” Baekhyun mengangkat segelas penuh jus kiwi.
            Mata Juniel langsung terpaku pada benda yang Baekhyun pegang. “Aku sangat suka  itu!” Juniel berteriak dengan semangat.
“Kau bisa mendapatkan ini, asal kau meminum obatmu setelah kau menyelesaikan makanmu. Setuju?”
            “Aku sangat setuju!” Juniel mengangkat kedua lengannya dengan bersemangat membuat Baekhyun menyeringai mengangkat pundaknya menunjukkan rangkaian giginya.
Sejak hari itu, Baekhyun yang menyembunyikan identitasnya dan selalu menemani Juniel setiap pagi hari. Menemaninya sarapan, meminum obat, dan menghiburnya. Ia membuat Juniel dari hari kehari semakin bersemangat dan membaik. Dan membuatnya merasakan atmosfer yang berbeda dari sebelumnya.
            Namun Baekhyun juga tak melupakan posisinya sendiri, yang memiliki jalan nasib yang sama dengan Juniel. Ia selalu meminum obat dan melakukan terapi-terapi yang selalu menjadi temannya setiap hari. Baginya, udara segar bebas obat-obatan di luar sana adalah mimpi terbesarnya. Berjuang bersama seseorang membuatnya semakin bergairah menyambut hari barunya.
Tok, tok.
Suara ketukan pintu terdengar jelas. “Masuklah,” seruan seseorang di dalam ruangan membuatnnya memberanikan diri untuk memutar kenop pintu itu lalu mendorongnya.
Hingga dorongan itu menciptakan bayangan di matanya. Seorang gadis dengan rambut sepundak menatap nanar luar ruangan dari kaca besar di sampingnya. Pergelangan tangan kirinya tersambung dengan selang kecil berisi cairan bening yang menyambungkan pergelangannya dengan kantung kecil yang menggantung di atas besi kecil.
“Ehem,” Baekhyun berdeham masih menyembunyikan kedua lengannya di belakang tubuhnya. Dehaman keras itu membuat Juniel menoleh ke paras seorang laki-laki dengan kedua mata ber-eyeliner di hadapannya.
“Jung Hwa ssi!” Pekiknya sambil menyeringai mengalihkan pandangan kosongnya yang sedari tadi menatap lingkungan luar rumah sakit menuju lelaki di hadapannya. “Tentu saja ini aku.” Baekhyun menyeringai melangkah menuju tubuh Juniel yang masih terbaring lemah.
“Kau sudah sarapan dan memakan obat?” Tanya Baekhyun saat ia mendudukkan tubuhnya di atas kursi di samping ranjang Juniel.
“Tentu saja, kau terlambat pagi ini.” Ia mengerucutkan bibirnya.
Mianhae, Juniel.” Ucapnya sambil menyeringai malu-malu mengeluarkan benda
yang sedari tadi berada di belakang punggungnya.
“Wah buket bunga mawar merah dan putih. Kyeopta!” Jeritnya sambil meraih dengan lembut buket bunga itu dari kedua lengan Baekhyun. Dengan antusias ia memejamkan matanya lalu menghirup dalam-dalam bau puluhan bunga mawar itu.
Gomawo!” Ucapnya sambil memeluk Baekhyun. Baekhyun merasakan dadanya terenyuh. Ia merasakan napas hangat dan lembut milik Juniel yang berhembus di telinga kanannya. Matanya membulat dengan bibir mengatup. Lalu Juniel melepaskan pelukan eratnya.
“Aku suka ini.” Ia menatap buket bunga itu dengan tatapan yang hangat.
“Aku juga,” ucap Baekhyun menyeringai. Namun Baekhyun tak mendengar suaranya sendiri. Dadanya mencelos. Tiba-tiba ia meraskan dadanya terasa begitu menyakitkan. Serasa ditekan oleh benda keras. Lalu ia menarik napasnya dalam-dalam dengan mata memejam kencang saat Juniel menghirup buket bunganya.
“Jung Hwa ssi, nanti malam pukul 07.30 aku tunggu kau di atap rumah sakit ya! Seperti biasanya.” Juniel menyeringai menunjukkan rangkaian giginya. Dengan getaran tangannya dan ratusan bulir keringat dingin yang menjalar di punggungnya ia memaksakan diri untuk menyunggingkan senyumnya sambil mengangguk.
“Juniel, boleh aku ikut ke toilet?” Ucapnya bergetar memaksakan diri untuk berbicara senormal mungkin. “Tentu saja.” Ia meyeringai kembali.
Dengan tergesa-gesa Baekhyun melangkahkan kakinya menuju toilet. Dan segera mengunci pintu toilet. “Uhuk!” Pekiknya pelan dengan tangan yang menutupi mulutnya.
Ia menatap wajahnya di hadapan cermin. Darah merah tercecer di samping bibirnya. Hatinya mencelos memandang bibirnya. Ia segera menatap lengannya. Darah merah menutupi permukaan telapak tangan kanannya.
Ia segera menyalakan keran dan mencuci lengannya dan darah yang tersisa di samping bibirnya. Ia merogoh sapu tangannya lalu mengelap habis sisa-sisa air di telapak tangan dan samping bibirnya. “Mianhae, Juniel.” Bisiknya segera meninggalkan toilet menuju ruangan dimana Juniel berbaring.
***
            “Jung Hwa ssi, seminggu lagi aku akan keluar dari rumah sakit.” Dengan ceria Juniel menatap Baekhyun yang duduk di sampingnya yang tengah menatap langit malam yang cerah dibubuhi banyak bintang yang berkedip-kedip.
            “Itu bagus sekali!” Baekhyun menoleh dengan senyuman merekahnya.
            “Tentu saja, itu artinya aku bisa bebas bermain denganmu.” Juniel menyeringai sambil menatap mata Baekhyun yang tak lepas dari eyeliner yang menjadi ciri khasnya.
“Aku sangat senang mendengarnya.”
            “Ini semua kan karena bantuanmu, Jung Hwa. Coba aku tak bertemu denganmu. Aku akan mati payah karena penyakitku. Gomawo! Gomaaawooo!
            “Haha, aku tak terlalu berpengaruh.” Ia menyeringai menunjukkan giginya sambil mengangkat kedua pundaknya.
“Ah, kau selalu begitu ya!” Juniel menepuk pundak Baekhyun. Membuat Baekhyun terkekeh kecil.
            “Kalau kau ada di posisiku, apa yang akan kau lakukan?” Tanya Juiel dengan nada lemah sambil menunduk dengan rambut yang melambai-lambai kecil terdorong angin malam.
            “Aku akan mencari seseorang yang kusayangi. Dan aku akan berjuang keras bersamanya!” Baekhyun menjawabnya dengan semangat.
            Lalu Juniel mengangguk-ngangguk kecil. “Aku tak berpikir apapun sebelum kau datang.” Juniel menundukkan wajahnya sambil menggingit bibirnya.
            “Sudahlah,” kata-katanya sendiri membuat ia terperangah. Ia kembali tak mendengar suaranya. Dan dadanya kembali terasa sakit, namun lebih sakit di bandingkan tadi pagi. Dadanya serasa ditikam oleh benda keras yang berat. Ia kembali merasakan tenggorokkannya yang terasa gatal.
‘Aku tak boleh seperti tadi di hadapannya.’ Rintihnya dalam hati menatap Juniel yang masih tertunduk.
            “Juniel, a, ayo kita kembali. Sa, sangat dingin di sini.” Ajaknya dengan gelagapan. Ia bangkit dari duduknya lalu menyodorkan lengannya.
“Baiklah,” dengan malas Juniel menggenggam lengan Baekhyun lalu bangkit dari duduknya.
***
            “Ah, ini pasti saputangan Jung Hwa, aku akan segera mengembalikannya.” Ia segera menarik kenop toilet.
“Jung Hwa ssi?” Ucapnya menatap ruangannya yang kosong yang sebelumnya terdapat Baekhyun yang terduduk di sofa ruangannya. “Kemana dia?” Ia segera membuka pintu ruangannya. Lalu menatap koridor di hadapannya.
            “Jung Hwa ssi?” Bisiknya saat ia menatap lelaki yang tergopoh-gopoh tengah memasuki ruangan yang berbeda tiga pintu darinya.
Waeyo?” Ia lalu melangkahkan kakinya menuju ruangan 307. Namun langkahnya terhenti saat lelaki bersetelan dokter dengan suami istri di sampingnya dan dua suster dengan setengah berlari melewatinya. Mereka dengan tergesa memasuki ruangan yang tengah ia tuju.
            Dengan dada yang mencelos ia mempercepat langkahnya menuju pintu ruang 307 yang bertuliskan Byun Baekhyun. “Byun Baekhyun?” Bisiknya lalu sepelan mungkin membuka pintu ruangan menciptakan celah kecil sehingga ia dapat melihat pemandangan kecil di dalam ruangan.
            “Mengapa ini semua bisa terjadi dokter?!” Suara wanita yang bergetar mulai menjalar di telinganya.
“Dia mulai kambuh lagi. Karena, karena kanker paru-parunya telah mencapai stadium 4.” Suara berat itu terdengar begitu tergesa-gesa karena ia tengah tergesa memasangkan alat-alat yang segera di sambungkan ke tubuh lelaki yang tengah tak sadarkan diri itu.
“Sejak kapan? Mengapa kau tak memberi tahu kami?”
“Itu, itu karena Baekhyun meminta agar kami tak memberi tahu perkembangan dan kemunduran yang ia alami kepada anda berdua.” Sahut perawat itu dengan murung.
            “Apa?! Apakah ia mengetahui penyakitnya yang semakin parah?!” Suara wanita itu terdengar lagi. Namun tak terdengar sahutan lagi.
“Jangan bilang dia tak tahu soal penyakitnya dokter! Jangan bilang kau mengatakan padanya bahwa dia baik-baik saja dan akan segera sembuh dokter! Kalau begitu caranya kau hanya memberi harapan palsu padanya!” Jerit wanita itu histeris dengan air mata yang terus mengalir. Suaminya terus menenangkannya dengan berbagai cara.
            Dadanya tercekat saat ia mendengar bahwa orang itu menderita kaker paru-paru stadium 4. Ia mulai merasakan kekuatiran atas orang yang tengah mereka bicarakan. Ia terus mendengar kan segala percakapan di dalam ruangan. Dengan keadaan yang semakin kacau dan histeris.
            “Suster! Mengapa dia menggunakan kemeja hijau dan jeans?! Bukannya pakaian pasien?!” Lengkingan lelaki bersuara baru terdengar keras penuh emosi.
            “Kemeja berwarna hijau? I, itu.. Jung Hwa ssi!” Ia tercekat dengan kening yang berkerut.
“Dia, dia adalah Byun Baekhyun? Apakah ia berpura-pura selama ini?” Suaranya mulai bergetar. Bibirnya melengkung ditemani getaran hebat.
“Mengapa kau lakukan ini?!” Pekiknya lemah terjerembab menelungkupkan wajahnya di atas kedua tangannya yang ia lipatkan di atas lututnya.
***
My tears bring rain
My tears bring thunder
I am going with my heart shredded to pieces
Please for the last time, don’t leave

            Juniel, aku tunggu kau di tempat kita bisa bertemu tanpa diketahui siapapun. Banyak yang ingin kukatakan padamu. Maafkan aku atas semua ke salahanku. Kutunggu kau tepat pukul 20.00. Byun Baekhyun A.K.A Jung Hwa.

            Dengan bibir pucat nan kering ia menggoyang-goyangkan bolpointnya. Tenggrokan-nya mengerang kesakitan menahan tangisnya. Bibirnya bergetar keras ditemani matanya yang mulai berair. Satu tetes bulir air matanya menetes di secarik kertas yang ia lipat. Ia memasukkan lipatan kertas itu ke dalam amplop. Lalu menuliskan Juniel di depan amplop.
            “Suster, bisa antarkan ini untuknya?” Baekhyun menyeringai menahan sakitnya. Lalu Perawat  itu mengangguk sambil menyeringai meraih surat itu dan segera meninggalkan ruangan.
***
            Juniel membaca surat itu dengan berlinangan air mata menahan perihnya. Hidungnya memerah dengan bulu matanya yang berat karena basah oleh air matanya. Ia tak sanggup lagi melihat Baekhyun  yang tersiksa karena penyakitnya. Rasa bersalah mulai menjamur di hatinya. Membayangkan segala hal yang telah mereka lalui beberapa bulan terakhir ini.
            Lelaki yang selalu memberi semangat besar padanya ternyata bernasib lebih buruk daripada dirinya. Lelaki ceria yang selalu menempel di benaknya tergantikan dengan sesosok lelaki lemah yang terbaring di ranjangnya dengan rasa menyakitkan luar biasa.
            Membayangkan semuanya membuat tangisannya semakin menjadi. Dadanya mencelos ditemani pikirannya yang benar-benar kacau. Ia tak bisa datang, ia tak mau melihat orang yang ia sayangi menjadi begitu sengsara karena dirinya. Ia segera menuliskan surat jawaban setelah setengah jam berlalu sejak surat itu tiba di tangannya. “Maaf, aku tak bisa. Jangan pergi ke sana Baekhyun.” Rintihnya menuliskan kata-kata singkat di secarik kertas yang tertetesi air mata.
***
            Baekhyun memasukkan kedua lengannya ke dalam saku jaket hitam tebalnya. Uap air putih tehempas setiap kali ia melepaskan sisa napasnya. Ia berjalan sambil menahan sakit dadanya yang semakin menjadi-jadi.
            Beberapa kali langkahnya harus terhenti saat rasa seperti hantaman keras menghantam dadanya. Ia beberapa kali menelan ludahnya. Dalam-dalam ia menghirup udara malam yang menusuk. Ia membiarakan udara dingin melewati tenggorokkannya dan memasuki paru-parunya yang lemah dan rentan.
           Seluruh tubunya nyaris bergetar kencang. Langkah lemahnya membuat ia tergopoh-gopoh menahan rasa sakit. “Juniel, kau akan datang kan?” Suaranya kembali tak terdengar olehnya. Ia mengerang kecil menghentikan langkah kakinya. Ia merogoh sakunya, satu kotak hadiah dan kunci ruangan kamarnya. Ia menggenggam keras kedua benda itu berusaha menetralisir rasa sakit yang mulai tak tertahankan.
            Ia mengerang lalu ia terbatuk-batuk kencang dengan darah yang terus terhempas. Kini genggamannya benar-benar melemah. Hingga kedua benda di genggamannya terlepas. Kedua tangannya memegang dadanya. Dengan tergesa-gesa ia menghirup udara. Namun rasa sesak yang dahsyat membuatnya merasa tak dapat bertahan lebih lama lagi. Tubuhnya terhuyung lemah lalu terjerembab keras ke lantai atap rumah sakit.
            Matanya yang lemah, bibirnya yang putih kering, dan kulit wajahnya yang seperti tak dialiri  darah membuatnya terlihat begitu menyedihkan. Kedua tangannya masih menyentuh dadanya. Lalu ia mengerling ke langit hitam di atasnya. Tak ada bintang dan bulan. Lalu bibirnya bergerak-gerak lemah menciptakan kata, “mianhae,” lalu ia menyeringai bersamaan dengan pejaman mata dan benda bening yang mengalir di kedua belah pipinya.
***
            Kegaduhan diluar ruangan membuatnya memaksakan diri untuk menuju pintu ruangannya. “Ada apa?” Tanyanya saat seorang perawat memasuki ruangan dengan tergesa-gesa sebelum Juniel menjatuhkan kakinya ke atas lantai.
            “Byun Baekhyun menghilang, ia mengunci kamarnya!” Pekiknya dengan nafasnya yang tak beraturan.
Mwo?!” Sentaknya bergetar dengan dada mencelos dan mata yang mulai berkaca. “Suratku? Apa kau menyampaikannya?” Ia bertanya penuh emosi dengan matanya yang telah meneteskan benda bening.
            “Justru hal itu lah yang membuat kami semua mengetahui ketiadaannya. Saat aku akan memasuki ruangan. Pintu ruangan sudah terkunci!” Jerit perawat itu histeris.
            Juniel terjerembab. “Ini semua salahku, coba saja tadi aku menemuinya dengan segera!” Pekiknya memukuli dirinya sendiri dengan kasar.
“Bukan Juniel! Ini bukan salahmu!” Perawat itu menghentikan gerakan kasarnya.
            “Byun Baekhyun sudah ditemukan!” Teriak seorang laki-laki di luar ruangan. Juniel dengan tergesa segera menghampiri pintu ruangannya dan mengusap air matanya.  
“Dia pasti masih bertahan.” Bisiknya dengan yakin. Hingga akhirnya sebuah ranjang yang didorong oleh  dua orang perawat lelaki yang ditiduri oleh seseorang yang tertutup kain putih melewatinya. Ranjang itu keluar dari ruangan 307 dibuntuti oleh suami istri yang Juniel temui empat hari yang lalu. Mereka menangis histeris mengikuti jalannya ranjang itu. Juniel hanya mampu melihat dengan mata terbelalak dan mulut menganga ditemani tetesan air matanya.
           “Itu, bukan dia. Itu bukan diakan?! Iyakan suster?!” Jeritnya histeris meronta-rontakan tubunya dengan kasar.
Dengan berat hati perawat itu menatap Juniel. “Itu adalah Baekhyun, Juniel. Kau harus menerimanya.” Perawat di sampingnya berusaha menenangkannya.
            “Tapi aku, aku belum bertemu dengannya empat hari terakhir ini sebelum kepergiannya.” Juniel menjatuhkan tubuhnya ke tubuh perawat di sampingnya. Sang perawat merangkulnya dengan lembut.
“Ini adalah takdirnya Juniel.” Ucapnya menegelus-ngelus rambut Juniel.
            “Maaf, apakah ini milikmu?” Tiba-tiba seorang security menyodorkan sebuah kotak kado yang berbekas cengkraman keras di bungkusnya.
“Aku menemukan ini di samping jenazah Baekhyun. Hadiah itu bertuliskan To: Juniel. Baiklah, terimakasih, saya pergi dulu.” Tanpa basa-basi ia lalu melangkah pergi dengan tergesa.
            Dengan antusias Juniel segera membuka hadiah itu. Lalu mengangkat isi dari hadiah itu. “Kotak musik?” Juniel lalu memutar sekrup di samping kotak musik berbentuk hati itu.
            Jangan menangis lagi, aku ditakdirkan seperti ini. Dan kau tak boleh sepertiku. Carilah jalan hidupmu yang indah. Jangan menyerah. Karena aku akan selalu bersamamu. Saranghae, Juniel Jeongmal saranghaeyo..” Bunyi dari kotak musik berwarna merah muda itu membuat mata Juniel membelalak. Kotak musik itu mengeluarkan boneka pasangan kecil yang menggunakan pakaian pasien. Mereka saling bergenggaman dan berputar diiringi iringan musiki dengan suara Baekhyun yang melantunkan sepatah kalimat kecil itu.
            Juniel terjerembab ditemani tangisannya. “Mianhae Baekhyun!” Rintihnya tersedu-sedu.
” Aku benar-benar menyesal!” Pekiknya dengan air mata yang terus menyusuri pipinya. Penyesalan yang dalam kini benar-benar menjadi miliknya seutuhnya. Penyesalan menyia-nyiakan waktu singkat yang tersisa untuknya. Ia terus meneteskan air mata pilunya tak berpaling dari kotak musik itu.
            Membayangkan wajah pria itu, seringainya, suaranya, tawanya, leluconnya, dan mata yang menjadi ciri khasnya membuat dada Juniel semakin sesak. Rasanya ia tak mampu menghentikan tangisannya.
            Ia kembali mengingat masa-masa indah dengan pria itu membuatnya memiliki tekad baru. Membuatnya ingin menggatikan Baekhyun untuk menggapai mimpi lelaki itu.
“Baekhyun ssi. Aku berjanji akan memulai hidup yang indah. Demi dirimu.”  Ia mengeluarkan seringai lemahnya menatap pasangan serasi yang masih berputar ditemani iringan suara Baekhyun yang merdu.

-THE END-

Ahh akhirnya beres juga ya! Terimakasih untuk yang sudah membaca! Maaf jika ada kata-kata yang salah. Tolong beri komentar dan kritik ya! Like juga ya! Hehe ^.^ GOMAWO CHINGU!