PEACH
Nama : Puteri ATF a.k.a Ree
Judul Cerita : Peach
Tag (tokoh) : Byun Baekhyun EXO
Juniel
Genre :
Romance
Rating :
Teen
Length :
One-Shot
Catatan Author
(bila perlu):
Ini
FF pertamaku yang dipost. Mohon saran dan Kritiknya Yak! :D
Happy
Reading! Awas Typo! Don’t be silent readers! Just comment for your opinion!
Don’t
copy paste please :’) Tinggalkan jejak kalian :3
Happy
Reading! ^.^
“Suster, aku akan segera pulih,
kan?” Tanyanya dengan mata berbinar menatap wanita berpakaian putih bersih di
sampingnya. Wanita itu lalu menyeringai mengangguk yakin.
“Tentu saja Baekhyun ssi, kau akan
segera menghirup udara segar yang bebas dari bau obat-obatan. Itu pun jika kau
selalu menuruti nasihat dokter.” Ia menjelaskan dengan panjang lebar menatap
Baekhyun dengan lembut.
“Baiklah! Oh iya, apa aku boleh
meminta sesuatu?” Ia bertanya lagi, membuat sang perawat mengangguk-angguk
mengiyakan pertanyaannya.
***
Baekhyun melangkah di caféteria
rumah sakit dengan senyumnya yang merekah. Ia telah mengganti pakaian rumah
sakitnya yang sangat menyebalkan baginya. Kini ia mengenakan pakaian
kesayangannya, jeans dan kemeja merah pemberian sahabatnya. Ia tengah berjalan
menuju penjual jus. Hingga beberapa detik kemudian ia dengan tak sengaja menabrak
seorang gadis hingga jus berwarna hijau muda di tangan gadis itu bercecerah di lantai.
“Ah, gwaenchana?” Tanya Baekhyun sambil menatap gadis berambut cokelat
kemerahan di hadapannya. “Ah, n, ne.”
Ucapnya mengangkat wajahnya yang berpipi cabi.
‘Juniel,’ desahnya dalam hati masih
menatap gadis bermata bening di hadapannya. “Mianhae, a, aku akan menggantikkan jusmu.” Ia segera menarik lengan
pakaian Juniel.
“Ah,
ani. Gwaenchanaya.” Sahutnya sambil tersenyum pucat.
“Yaa,
aku harus menggantikannya. Itu tidak baik.” Sahut Baekhyun meyakinkan kembali
menarik Juniel.
“Aha
gomawo,” ucapnya malu-,alu mengikuti
langkah Baekhyun menuju salah satu meja saat petugas kebersihan menghampiri
ceceran jus milik Juniel.
Kini mereka saling berhadapan dengan dua
gelas jus di hadapan mereka. Baekhyun menundukan wajahnya sambil menggigit
bawah bibirnya menyesalkan kekeluan lidahnya yang terasa begitu kaku.
“Gomapta,”
Juniel memecahkan keheningan antara mereka berdua. “Ah, iya.” Baekhyun
menjawabnya dengan singkat ditemani seringai hangat sambil meremas jeans dengan
kedua tangannya di bawah meja.
“Namamu siapa? Aku Juniel.” Juniel
menyodorkan lengannya ditemani sunggingan hangatnya. ‘Dia tak tahu aku?’ Sesal
Baekhyun dalam hatinya mencari alasan mengapa Juniel tak mengetahui
keberadaannya yang hanya terpisah dua ruangan darinya.
“Namaku Park Jung Hwa,” ucapnya
menerima sodoran lengan Juniel. Mereka lalu menyeringai sambil merenggangkan
genggaman masing-masing. Baekhyun merasakan detakkan jantungnya tak beraturan,
membuat tangannya bergetar sedari tadi saat ia duduk bersama Juniel. Ia pun
merasakan bulu romanya yang meremang saat ia menatap Juniel yang kini berada di
hadapannya.
Juniel
lalu menatapnya. “Aku ingin sepertimu. Sehat, bebas, ceria, dan tak terbatas
dalam satu ruang lingkub yang menjenuhkan.” Ucap Juniel setelah ia menyeruput
jusnya. Membuat Baekhyun merasa tersentak tak dapat mengatakan apapun secepat yang ia bisa. Ia terdiam beberapa
detik sambil bergeming. Dalam benaknya ia mulai memperhitungkan segala hal yang
akan terjadi, ‘sesuai dugaanku. Ini bagus untuk permulaan.’
“Kau ingin sepertiku?” Baekhyun
menyeringai nakal. Lalu Juniel menganggukkan kepalanya mantap.
“Itu
artinya kau harus mengikuti segala nasihat dokter. Jangan melawan dan tak
mengikuti aturan dokter yang akan membantumu.” Dengan panjang lebar dan tatapan
yang melukiskan kepeduliannya ia menjelaskan sambil menatap lekat Juniel.
“Itu, aku tak suka. Dokter selalu
mengatur, jadi aku tak menyukai hal itu. Dan aku tak suka obat, rasanya pahit!”
Juniel lalu mengerucutkan bibirnya, membuat Baekhyun menyeringai lembut
menatapnya.
“Pahit
di awal yang akan membuatmu dapat dengan bebas menciptakan kenangan manis di
waktu yang akan datang.” Baekhyun menyunggingkan senyuman manisnya dengan penuh
keyakinan membuta Juniel tak mampu menyangkal kata-kata Baekhyun.
“Kalau begitu, baiklah! Mulai
sekarang aku akan mengikuti saranmu agar aku segera keluar dari tempat yang
menjenuhkan ini. Jenguk aku ya, di kamar 304.” Ia mengedipkan salah satu
matanya lalu mengangkat tubuhnya dari atas kursi. Lalu ia melambaikan lengan
pucat lemahnya saat seorang perawat merangkul punggungnya. Menggiring tubuh
lemah itu ke atas kursi roda.
‘Suster, aku berhasil melunakkan
hatinya yang terkenal di kalangan dokter dan perawat sebagai gadis keras kepala
yang selalu tak mau mengikuti anjuran dokter. Aku berjanji akan membuatnya
sembuh bersamaan denganku. Walaupun aku harus menyembunyikan diriku yang
sebenarnya.’ Ucapnya dalam hati dengan keseriusan masih menatap Juniel yang
semakin jauh dari pandangan matanya.
***
Baekhyun menggenggam erat dorongan
berlapis karet pucat di kursi roda yang ia dorong. Sinar matahari pagi yang
menerobos dedaunan pohon di sepanjang jalan membuatnya sedikit menyipitkan
matanya menahan sinar matahari yang menerpa wajahnya. Rambut coklatnya yang berkilauan
diterpa sinar matahari pagi melambai lembut tertiup angin pagi yang terasa
menyegarkan.
“Wah, ini sangat menyenangkan ya.”
Gumam gadis di atas kursi roda yang Bekhyun dorong terdengar riang.
Baekhyun memutar matanya sekejap
memandang berkeliling. “Tentu saja. Memangnya kau tak pernah melakukan tour
kecil-kecilan seperti ini?”
Lalu Juniel memutar kepalanya
memandang tubuh di belakangnya. “Ani, aku pikir akan melelahkan.” Lalu
Baekhyun tertawa geli.
“Melelahkan? Tentu saja tidak. Kau
kan hanya duduk. Dan seseorang akan mendorongkan kursi roda ini untukmu.” Balas
Baekhyun masih diakhiri tawa gelinya.
Juniel lalu mencibir kecil. “Tetap
saja jika pemandangannya tidak indah akan melelahkan, kan?”
“Ne,
ne.” Baekhyun mengangguk sambil menyeringai.
Langit yang ditebari gumpalan kapas
tipis berair semakin terlihat cerah karena matahari membawa aura menyenangkan
dari cahaya hangatnya. Juniel dan Baekhyun tengah merebahkan kakinya di atas
rerumputan hijau segar. Mereka ditemani kawanan pohon rindang di taman yang
mereka pijaki.
Bubur yang suster titipkan kepada
Baekhyun untuk Juniel telah habis dilahap Juniel walau memakan waktu yang lama.
Bakhyun pun harus sabar saat ia harus mengangkat sendok berisi bubur yang
sering kali ditolak Juniel.
Baekhyun menutup matanya sambil
menghirup udara dalam-dalam. Membuatnya merasakan kesegaran yang menghampiri
tubuhnya. Merangkaikan sunggingan lembut di bibir tipisnya.
“Apa yang kau lakukan?” Juniel
menoleh ke arahnya.
“Hmmm.. aku tak tahu apa namanya.
Namun sangat menenangkan.” Baekhyun masih menutup kelopak matanya. Lalu Juniel
memutar matanya. “Aku ingin mencobanya.”
“Baiklah,” Baekhyun membuka kelopak
matanya lalu menatap gadis di sampingnya.
“Pertama kau harus rileks, ya.
Lemaskan punggungmu. Lalu mulailah tutup matamu,” Baekhyun menatap Juniel lekat
saat Juniel mulai menutup matanya.
“Lalu?” Juniel bertanya.
“Lalu, hirup udara dalam-dalam.
Setelah itu bayangkanlah apa yang sangat ingin kau lakukan sekarang. Bayangkanlah
dengan perasaan yang dalam.” Baekhyun melanjutkan kata-katanya.
“Hmm..” Juniel bergumam kecil masih
menutup matanya.
Baekhyun menyeringai menatap Juniel.
Lalu mengalihkan tatapannya. Namun saat ia menolehkan kepalanya, matanya
menangkap dua bayangan yang familiar di hari-harinya. Kedua tubuh itu tengah
memasuki pintu rumah sakit.
Mata
Baekhyun membulat dengan mulut yang sedikit demi sedikit menganga. “Eomma, appa.” Bisiknya pelan dengan nada
tingginya. “Ottokhae?” Bisiknya lagi.
Ia segera menoleh menatap Juniel yang tengah menyeringai lembut.’Juniel mianhae karena mengganggu kesenanganmu.’
“Juniel, ayo kita pulang.” Gumam
Baekhyun segera meraih botol air mineral dan tempat makan berwarna merah muda
yang kosong. Ajakan Baekhyun sontak membuat Juniel membuka matanya.
“Mwo?
Waeyo?” Juniel mengerutkan keningnya.
“Ani,
kajja.” Baekhyun yang baru saja mengangkat tubuhnya segera menyodorkan
lengannya. Juniel menarik lengan pucat Baekhyun lalu mengangkat tubuhnya.
***
Tanpa
banyak pikir Baekhyun memasukkan pakaian yang baru saja ia gunakan ke dalam
tempat sampah abu-abu di toilet. Ia segera menarik pintu toilet dan menyelinap
secepat yang ia dapat lakukan.
Pikirannya kacau. Bagaimana jika
orang tuanya kuatir? Bagaimana jika Juniel mengetahui kebohongannya, sehingga
ia tak mampu menolong Juniel untuk segera pulih? Banyak yang ia khawatirkan
karena tingkahnya. Namun ia sama sekali tak mengkhawatirkan dirinya sendiri.
Tak mengkhawatirkan keadaan dirinya yang cukup parah. Tak memperhatikan
bagaimana pucatnya kulit putihnya. Tak menghiraukan bagaiman detak jantung yang
melemah dan napasnya yang sering kali tersengal-sengal akhir-akhir ini.
Dengan bergetar ia melalui pintu
bernomor 304 tanpa meliriknya sedikitpun. Lalu melangkah melewati dua pintu
dari nomor 304. Kini ia mematung di hadapan pintu putih bernomor 307. Dengan
bergetar ia memutar kenop pintu. Lalu dengan keraguannya ia mendorong pintu di
hadapannya. Ia mengintip kecil. Namun dengan keputus asaannya ia melangkahkan
kakinya.
“Omo!
Baekhyun! Gwaenchana?” Seorang wanita
berpakaian merah terang menghampirinya saat ia menutup pintu.
“Seperti yang Ibu lihat, aku sangat
baik-baik saja.” Baekhyun menyeringai.
“Syukurlah. Ayo cepat duduk.” Wanita
itu merangkulnya lembut menuju sofa.
“Istriku, kau terlalu
mengkhawatirkannya. Sudah aku bilang, anak kita akan baik-baik saja. Putra kita
adalah pemuda kuat.”
“Ne,
ne! Hajiman, tubuh putra kita rentan. Aku sangat kuatir saat suster bilang
anak kita berjalan-jalan seorang diri di taman. Walaupun itu kemauannya sendiri
tetap saja kita dan dirinya sendiri tak dapat memastikan keadaannya akan
baik-baik saja selama ia sendiri.” Dengan nada sedikit terpukul wanita itu
menatap tajam pria yang tengah duduk di samping Baekhyun. Ia segera meraih tas
putih yang tergeletak di samping meja.
“Appa
benar, Eomma. Putramu ini pemuda yang
kuat. Jadi Eomma jangan terlalu kuatir.” Baekhyun menyeringai lembut. Ia
sedikit bernapas lega karena rencananya berjalan cukup mulus. Ia lalu menatap
perawatnya yang sedari tadi berdiri sambil menyeringai ramah di samping pintu
ruangan.
“Gomawo.”
Baekhyun berbisik nyaris tak terdengar sambil mengedipkan salah satu matanya.
Perawat itu mengangguk membalas sunggingan hangat milik Baekhyun.
***
“Juniel, ayo makan ini. Lihat ini enak
sekali!” Baekhyun mengangkat satu sendok penuh berisi bubur yang ditemani
potongah daging sapi dan jamur. Namun Juniel hanya menggeleng sambil
mengembungkan pipinya.
“Ayolah, kau baru makan
setengahnya!” Baekhyun merengek menatap manja ke arah Juniel yang masih
mengerucutkan bibirnya. Namun Juniel hanya terdiam.
“Hm, baiklah. Kau ingin kau sembuh
dengan segerakan? Dan bermain denganku? Maka makanlah.” Baekhyun melembutkan
suaranya sambil menatap Juniel.
“Kau punya mimpi tapi tak mampu
untuk menggapainya. Untuk berusaha saja kau tak bisa.” Baekhyun sedikit
mengeraskan suaranya. “Kau ingin segera keluar, tapi tingkahmu menunjukkan kau
ingin berlama-lama di sini.”
Lalu Juniel menatap malas bubur di
hadapannya. Sambil mengerling lemah ke arah Baekhyun ia melahap bubur yang
berada di sendok yang Baekhyun pegang.
“Itu lebih baik. Kau mau makan
sendiri?” Baekhyun menyeringai dengan lembut. Lalu Juniel mengangguk meraih
sendok dan mangkuk di tangan Baekhyun. Baekhyun menyeringai lalu meraih jus
kiwi. “Kau suka?” Baekhyun mengangkat segelas penuh jus kiwi.
Mata Juniel langsung terpaku pada
benda yang Baekhyun pegang. “Aku sangat suka
itu!” Juniel berteriak dengan semangat.
“Kau bisa mendapatkan ini, asal kau meminum
obatmu setelah kau menyelesaikan makanmu. Setuju?”
“Aku sangat setuju!” Juniel
mengangkat kedua lengannya dengan bersemangat membuat Baekhyun menyeringai
mengangkat pundaknya menunjukkan rangkaian giginya.
Sejak hari itu, Baekhyun yang menyembunyikan
identitasnya dan selalu menemani Juniel setiap pagi hari. Menemaninya sarapan,
meminum obat, dan menghiburnya. Ia membuat Juniel dari hari kehari semakin bersemangat
dan membaik. Dan membuatnya merasakan atmosfer yang berbeda dari sebelumnya.
Namun Baekhyun juga tak melupakan
posisinya sendiri, yang memiliki jalan nasib yang sama dengan Juniel. Ia selalu
meminum obat dan melakukan terapi-terapi yang selalu menjadi temannya setiap
hari. Baginya, udara segar bebas obat-obatan di luar sana adalah mimpi terbesarnya.
Berjuang bersama seseorang membuatnya semakin bergairah menyambut hari barunya.
Tok,
tok.
Suara ketukan pintu terdengar jelas.
“Masuklah,” seruan seseorang di dalam ruangan membuatnnya memberanikan diri
untuk memutar kenop pintu itu lalu mendorongnya.
Hingga dorongan itu menciptakan bayangan
di matanya. Seorang gadis dengan rambut sepundak menatap nanar luar ruangan
dari kaca besar di sampingnya. Pergelangan tangan kirinya tersambung dengan
selang kecil berisi cairan bening yang menyambungkan pergelangannya dengan
kantung kecil yang menggantung di atas besi kecil.
“Ehem,” Baekhyun berdeham masih
menyembunyikan kedua lengannya di belakang tubuhnya. Dehaman keras itu membuat Juniel
menoleh ke paras seorang laki-laki dengan kedua mata ber-eyeliner di hadapannya.
“Jung Hwa ssi!” Pekiknya sambil
menyeringai mengalihkan pandangan kosongnya yang sedari tadi menatap lingkungan
luar rumah sakit menuju lelaki di hadapannya. “Tentu saja ini aku.” Baekhyun
menyeringai melangkah menuju tubuh Juniel yang masih terbaring lemah.
“Kau sudah sarapan dan memakan obat?”
Tanya Baekhyun saat ia mendudukkan tubuhnya di atas kursi di samping ranjang Juniel.
“Tentu saja, kau terlambat pagi ini.” Ia
mengerucutkan bibirnya.
“Mianhae,
Juniel.” Ucapnya sambil menyeringai malu-malu mengeluarkan benda
yang
sedari tadi berada di belakang punggungnya.
“Wah buket bunga mawar merah dan putih. Kyeopta!” Jeritnya sambil meraih dengan
lembut buket bunga itu dari kedua lengan Baekhyun. Dengan antusias ia
memejamkan matanya lalu menghirup dalam-dalam bau puluhan bunga mawar itu.
“Gomawo!”
Ucapnya sambil memeluk Baekhyun. Baekhyun merasakan dadanya terenyuh. Ia
merasakan napas hangat dan lembut milik Juniel yang berhembus di telinga
kanannya. Matanya membulat dengan bibir mengatup. Lalu Juniel melepaskan
pelukan eratnya.
“Aku suka ini.” Ia menatap buket bunga
itu dengan tatapan yang hangat.
“Aku juga,” ucap Baekhyun menyeringai.
Namun Baekhyun tak mendengar suaranya sendiri. Dadanya mencelos. Tiba-tiba ia
meraskan dadanya terasa begitu menyakitkan. Serasa ditekan oleh benda keras.
Lalu ia menarik napasnya dalam-dalam dengan mata memejam kencang saat Juniel
menghirup buket bunganya.
“Jung Hwa ssi, nanti malam pukul 07.30
aku tunggu kau di atap rumah sakit ya! Seperti biasanya.” Juniel menyeringai
menunjukkan rangkaian giginya. Dengan getaran tangannya dan ratusan bulir
keringat dingin yang menjalar di punggungnya ia memaksakan diri untuk
menyunggingkan senyumnya sambil mengangguk.
“Juniel, boleh aku ikut ke toilet?”
Ucapnya bergetar memaksakan diri untuk berbicara senormal mungkin. “Tentu
saja.” Ia meyeringai kembali.
Dengan tergesa-gesa Baekhyun
melangkahkan kakinya menuju toilet. Dan segera mengunci pintu toilet. “Uhuk!”
Pekiknya pelan dengan tangan yang menutupi mulutnya.
Ia menatap wajahnya di hadapan cermin.
Darah merah tercecer di samping bibirnya. Hatinya mencelos memandang bibirnya.
Ia segera menatap lengannya. Darah merah menutupi permukaan telapak tangan
kanannya.
Ia segera menyalakan keran dan mencuci
lengannya dan darah yang tersisa di samping bibirnya. Ia merogoh sapu tangannya
lalu mengelap habis sisa-sisa air di telapak tangan dan samping bibirnya. “Mianhae, Juniel.” Bisiknya segera
meninggalkan toilet menuju ruangan dimana Juniel berbaring.
***
“Jung Hwa ssi, seminggu lagi aku
akan keluar dari rumah sakit.” Dengan ceria Juniel menatap Baekhyun yang duduk
di sampingnya yang tengah menatap langit malam yang cerah dibubuhi banyak
bintang yang berkedip-kedip.
“Itu bagus sekali!” Baekhyun menoleh
dengan senyuman merekahnya.
“Tentu saja, itu artinya aku bisa
bebas bermain denganmu.” Juniel menyeringai sambil menatap mata Baekhyun yang
tak lepas dari eyeliner yang menjadi ciri
khasnya.
“Aku sangat senang mendengarnya.”
“Ini semua kan karena bantuanmu,
Jung Hwa. Coba aku tak bertemu denganmu. Aku akan mati payah karena penyakitku.
Gomawo! Gomaaawooo!”
“Haha, aku tak terlalu berpengaruh.”
Ia menyeringai menunjukkan giginya sambil mengangkat kedua pundaknya.
“Ah, kau selalu begitu ya!” Juniel
menepuk pundak Baekhyun. Membuat Baekhyun terkekeh kecil.
“Kalau kau ada di posisiku, apa yang
akan kau lakukan?” Tanya Juiel dengan nada lemah sambil menunduk dengan rambut
yang melambai-lambai kecil terdorong angin malam.
“Aku akan mencari seseorang yang
kusayangi. Dan aku akan berjuang keras bersamanya!” Baekhyun menjawabnya dengan
semangat.
Lalu Juniel mengangguk-ngangguk
kecil. “Aku tak berpikir apapun sebelum kau datang.” Juniel menundukkan
wajahnya sambil menggingit bibirnya.
“Sudahlah,” kata-katanya sendiri
membuat ia terperangah. Ia kembali tak mendengar suaranya. Dan dadanya kembali
terasa sakit, namun lebih sakit di bandingkan tadi pagi. Dadanya serasa ditikam
oleh benda keras yang berat. Ia kembali merasakan tenggorokkannya yang terasa
gatal.
‘Aku tak boleh seperti tadi di
hadapannya.’ Rintihnya dalam hati menatap Juniel yang masih tertunduk.
“Juniel, a, ayo kita kembali. Sa,
sangat dingin di sini.” Ajaknya dengan gelagapan. Ia bangkit dari duduknya lalu
menyodorkan lengannya.
“Baiklah,” dengan malas Juniel
menggenggam lengan Baekhyun lalu bangkit dari duduknya.
***
“Ah, ini pasti saputangan Jung Hwa,
aku akan segera mengembalikannya.” Ia segera menarik kenop toilet.
“Jung Hwa ssi?” Ucapnya menatap
ruangannya yang kosong yang sebelumnya terdapat Baekhyun yang terduduk di sofa
ruangannya. “Kemana dia?” Ia segera membuka pintu ruangannya. Lalu menatap
koridor di hadapannya.
“Jung Hwa ssi?” Bisiknya saat ia
menatap lelaki yang tergopoh-gopoh tengah memasuki ruangan yang berbeda tiga
pintu darinya.
“Waeyo?”
Ia lalu melangkahkan kakinya menuju ruangan 307. Namun langkahnya terhenti saat
lelaki bersetelan dokter dengan suami istri di sampingnya dan dua suster dengan
setengah berlari melewatinya. Mereka dengan tergesa memasuki ruangan yang tengah
ia tuju.
Dengan dada yang mencelos ia
mempercepat langkahnya menuju pintu ruang 307 yang bertuliskan Byun Baekhyun.
“Byun Baekhyun?” Bisiknya lalu sepelan mungkin membuka pintu ruangan
menciptakan celah kecil sehingga ia dapat melihat pemandangan kecil di dalam
ruangan.
“Mengapa ini semua bisa terjadi
dokter?!” Suara wanita yang bergetar mulai menjalar di telinganya.
“Dia mulai kambuh lagi. Karena, karena
kanker paru-parunya telah mencapai stadium 4.” Suara berat itu terdengar begitu
tergesa-gesa karena ia tengah tergesa memasangkan alat-alat yang segera di
sambungkan ke tubuh lelaki yang tengah tak sadarkan diri itu.
“Sejak kapan? Mengapa kau tak memberi
tahu kami?”
“Itu, itu karena Baekhyun meminta agar
kami tak memberi tahu perkembangan dan kemunduran yang ia alami kepada anda
berdua.” Sahut perawat itu dengan murung.
“Apa?! Apakah ia mengetahui
penyakitnya yang semakin parah?!” Suara wanita itu terdengar lagi. Namun tak
terdengar sahutan lagi.
“Jangan bilang dia tak tahu soal
penyakitnya dokter! Jangan bilang kau mengatakan padanya bahwa dia baik-baik
saja dan akan segera sembuh dokter! Kalau begitu caranya kau hanya memberi
harapan palsu padanya!” Jerit wanita itu histeris dengan air mata yang terus
mengalir. Suaminya terus menenangkannya dengan berbagai cara.
Dadanya tercekat saat ia mendengar
bahwa orang itu menderita kaker paru-paru stadium 4. Ia mulai merasakan
kekuatiran atas orang yang tengah mereka bicarakan. Ia terus mendengar kan
segala percakapan di dalam ruangan. Dengan keadaan yang semakin kacau dan
histeris.
“Suster! Mengapa dia menggunakan
kemeja hijau dan jeans?! Bukannya pakaian pasien?!” Lengkingan lelaki bersuara
baru terdengar keras penuh emosi.
“Kemeja berwarna hijau? I, itu..
Jung Hwa ssi!” Ia tercekat dengan kening yang berkerut.
“Dia, dia adalah Byun Baekhyun? Apakah ia
berpura-pura selama ini?” Suaranya mulai bergetar. Bibirnya melengkung ditemani
getaran hebat.
“Mengapa kau lakukan ini?!” Pekiknya
lemah terjerembab menelungkupkan wajahnya di atas kedua tangannya yang ia
lipatkan di atas lututnya.
***
My
tears bring rain
My
tears bring thunder
I
am going with my heart shredded to pieces
Please
for the last time, don’t leave
“Juniel,
aku tunggu kau di tempat kita bisa bertemu tanpa diketahui siapapun. Banyak
yang ingin kukatakan padamu. Maafkan aku atas semua ke salahanku. Kutunggu kau
tepat pukul 20.00. Byun Baekhyun A.K.A Jung Hwa.”
Dengan bibir pucat nan kering ia menggoyang-goyangkan
bolpointnya. Tenggrokan-nya mengerang kesakitan menahan tangisnya. Bibirnya
bergetar keras ditemani matanya yang mulai berair. Satu tetes bulir air matanya
menetes di secarik kertas yang ia lipat. Ia memasukkan lipatan kertas itu ke
dalam amplop. Lalu menuliskan Juniel di depan amplop.
“Suster, bisa antarkan ini
untuknya?” Baekhyun menyeringai menahan sakitnya. Lalu Perawat itu mengangguk sambil menyeringai meraih surat
itu dan segera meninggalkan ruangan.
***
Juniel membaca surat itu dengan
berlinangan air mata menahan perihnya. Hidungnya memerah dengan bulu matanya
yang berat karena basah oleh air matanya. Ia tak sanggup lagi melihat
Baekhyun yang tersiksa karena
penyakitnya. Rasa bersalah mulai menjamur di hatinya. Membayangkan segala hal
yang telah mereka lalui beberapa bulan terakhir ini.
Lelaki yang selalu memberi semangat
besar padanya ternyata bernasib lebih buruk daripada dirinya. Lelaki ceria yang
selalu menempel di benaknya tergantikan dengan sesosok lelaki lemah yang terbaring
di ranjangnya dengan rasa menyakitkan luar biasa.
Membayangkan semuanya membuat
tangisannya semakin menjadi. Dadanya mencelos ditemani pikirannya yang
benar-benar kacau. Ia tak bisa datang, ia tak mau melihat orang yang ia sayangi
menjadi begitu sengsara karena dirinya. Ia segera menuliskan surat jawaban
setelah setengah jam berlalu sejak surat itu tiba di tangannya. “Maaf, aku tak
bisa. Jangan pergi ke sana Baekhyun.” Rintihnya menuliskan kata-kata singkat di
secarik kertas yang tertetesi air mata.
***
Baekhyun memasukkan kedua lengannya
ke dalam saku jaket hitam tebalnya. Uap air putih tehempas setiap kali ia
melepaskan sisa napasnya. Ia berjalan sambil menahan sakit dadanya yang semakin
menjadi-jadi.
Beberapa kali langkahnya harus
terhenti saat rasa seperti hantaman keras menghantam dadanya. Ia beberapa kali
menelan ludahnya. Dalam-dalam ia menghirup udara malam yang menusuk. Ia
membiarakan udara dingin melewati tenggorokkannya dan memasuki paru-parunya
yang lemah dan rentan.
Seluruh tubunya nyaris bergetar
kencang. Langkah lemahnya membuat ia tergopoh-gopoh menahan rasa sakit. “Juniel,
kau akan datang kan?” Suaranya kembali tak terdengar olehnya. Ia mengerang
kecil menghentikan langkah kakinya. Ia merogoh sakunya, satu kotak hadiah dan
kunci ruangan kamarnya. Ia menggenggam keras kedua benda itu berusaha
menetralisir rasa sakit yang mulai tak tertahankan.
Ia mengerang lalu ia terbatuk-batuk
kencang dengan darah yang terus terhempas. Kini genggamannya benar-benar
melemah. Hingga kedua benda di genggamannya terlepas. Kedua tangannya memegang
dadanya. Dengan tergesa-gesa ia menghirup udara. Namun rasa sesak yang dahsyat
membuatnya merasa tak dapat bertahan lebih lama lagi. Tubuhnya terhuyung lemah
lalu terjerembab keras ke lantai atap rumah sakit.
Matanya yang lemah, bibirnya yang
putih kering, dan kulit wajahnya yang seperti tak dialiri darah membuatnya terlihat begitu menyedihkan.
Kedua tangannya masih menyentuh dadanya. Lalu ia mengerling ke langit hitam di
atasnya. Tak ada bintang dan bulan. Lalu bibirnya bergerak-gerak lemah
menciptakan kata, “mianhae,” lalu ia
menyeringai bersamaan dengan pejaman mata dan benda bening yang mengalir di
kedua belah pipinya.
***
Kegaduhan diluar ruangan membuatnya
memaksakan diri untuk menuju pintu ruangannya. “Ada apa?” Tanyanya saat seorang
perawat memasuki ruangan dengan tergesa-gesa sebelum Juniel menjatuhkan kakinya
ke atas lantai.
“Byun Baekhyun menghilang, ia
mengunci kamarnya!” Pekiknya dengan nafasnya yang tak beraturan.
“Mwo?!”
Sentaknya bergetar dengan dada mencelos dan mata yang mulai berkaca. “Suratku?
Apa kau menyampaikannya?” Ia bertanya penuh emosi dengan matanya yang telah
meneteskan benda bening.
“Justru hal itu lah yang membuat
kami semua mengetahui ketiadaannya. Saat aku akan memasuki ruangan. Pintu
ruangan sudah terkunci!” Jerit perawat itu histeris.
Juniel terjerembab. “Ini semua salahku,
coba saja tadi aku menemuinya dengan segera!” Pekiknya memukuli dirinya sendiri
dengan kasar.
“Bukan Juniel! Ini bukan salahmu!”
Perawat itu menghentikan gerakan kasarnya.
“Byun Baekhyun sudah ditemukan!”
Teriak seorang laki-laki di luar ruangan. Juniel dengan tergesa segera
menghampiri pintu ruangannya dan mengusap air matanya.
“Dia pasti masih bertahan.” Bisiknya
dengan yakin. Hingga akhirnya sebuah
ranjang yang didorong oleh dua orang
perawat lelaki yang ditiduri oleh seseorang yang tertutup kain putih
melewatinya. Ranjang itu keluar dari ruangan 307 dibuntuti oleh suami istri
yang Juniel temui empat hari yang lalu. Mereka menangis histeris mengikuti
jalannya ranjang itu. Juniel hanya mampu melihat dengan mata terbelalak dan
mulut menganga ditemani tetesan air matanya.
“Itu, bukan dia. Itu bukan diakan?!
Iyakan suster?!” Jeritnya histeris meronta-rontakan tubunya dengan kasar.
Dengan berat hati perawat itu menatap Juniel.
“Itu adalah Baekhyun, Juniel. Kau harus menerimanya.” Perawat di sampingnya
berusaha menenangkannya.
“Tapi aku, aku belum bertemu
dengannya empat hari terakhir ini sebelum kepergiannya.” Juniel menjatuhkan
tubuhnya ke tubuh perawat di sampingnya. Sang perawat merangkulnya dengan
lembut.
“Ini adalah takdirnya Juniel.” Ucapnya
menegelus-ngelus rambut Juniel.
“Maaf, apakah ini milikmu?”
Tiba-tiba seorang security menyodorkan sebuah kotak kado yang berbekas
cengkraman keras di bungkusnya.
“Aku menemukan ini di samping jenazah
Baekhyun. Hadiah itu bertuliskan To: Juniel. Baiklah, terimakasih, saya pergi
dulu.” Tanpa basa-basi ia lalu melangkah pergi dengan tergesa.
Dengan antusias Juniel segera
membuka hadiah itu. Lalu mengangkat isi dari hadiah itu. “Kotak musik?” Juniel
lalu memutar sekrup di samping kotak musik berbentuk hati itu.
“Jangan
menangis lagi, aku ditakdirkan seperti ini. Dan kau tak boleh sepertiku.
Carilah jalan hidupmu yang indah. Jangan menyerah. Karena aku akan selalu
bersamamu. Saranghae, Juniel Jeongmal saranghaeyo..” Bunyi dari kotak musik
berwarna merah muda itu membuat mata Juniel membelalak. Kotak musik itu
mengeluarkan boneka pasangan kecil yang menggunakan pakaian pasien. Mereka saling
bergenggaman dan berputar diiringi iringan musiki dengan suara Baekhyun yang
melantunkan sepatah kalimat kecil itu.
Juniel terjerembab ditemani
tangisannya. “Mianhae Baekhyun!”
Rintihnya tersedu-sedu.
” Aku benar-benar menyesal!” Pekiknya
dengan air mata yang terus menyusuri pipinya. Penyesalan yang dalam kini
benar-benar menjadi miliknya seutuhnya. Penyesalan menyia-nyiakan waktu singkat
yang tersisa untuknya. Ia terus meneteskan air mata pilunya tak berpaling dari
kotak musik itu.
Membayangkan wajah pria itu,
seringainya, suaranya, tawanya, leluconnya, dan mata yang menjadi ciri khasnya
membuat dada Juniel semakin sesak. Rasanya ia tak mampu menghentikan
tangisannya.
Ia kembali mengingat masa-masa indah
dengan pria itu membuatnya memiliki tekad baru. Membuatnya ingin menggatikan
Baekhyun untuk menggapai mimpi lelaki itu.
“Baekhyun ssi. Aku berjanji akan memulai
hidup yang indah. Demi dirimu.” Ia
mengeluarkan seringai lemahnya menatap pasangan serasi yang masih berputar
ditemani iringan suara Baekhyun yang merdu.
-THE END-
Ahh
akhirnya beres juga ya! Terimakasih untuk yang sudah membaca! Maaf jika ada
kata-kata yang salah. Tolong beri komentar dan kritik ya! Like juga ya! Hehe
^.^ GOMAWO CHINGU!